Kamis, 18 November 2021

Kata Bersayap #5 : Ibu

Siang ini aku mendapat kabar gembira.
Aku yakin jika ku bercerita Istri dan Anakku akan bangga.
Begitu pula dengan Papa, Ibuku dan Adikku.
Namun bagaimanapun juga, takkan bisa mengalahkan cerahnya wajah Mamaku jika beliau mendengar kabar ini.
Takkan bisa kubayangkan wajah bangga beliau.
Ooo
Tapi kuyakin ada live-monitor disana.
Ia sudah bersorak sorai hari ini sambil menepuk-nepuk bahu malaikat yg setia menemani di taman surganya disana.
"Lihat, itu anakku!!" ujarnya bangga

Jumat, 12 November 2021

Kata Bersayap #4

"God is in The Rain" Evey Hammond - V For Vendetta The Movie

Pagi ini di Jakarta Pusat seratus ribu manusia mengumpat hujan dan banjir bandang, lima puluh ribu manusia merindukan hujan sembari menyesap teh hangat.

Jumat minggu lalu, di Bogor tiga puluh ribu manusia mendamba hujan, lima ribu lima ratus manusia menyumpahi hujan

Di Bekasi dua puluh ribu manusia berharap tak ada air menetes dari langit, empat ribu manusia mengais rejeki saat seribu galon air tumpah ruah dari awan.




..

Seratus ribu lebih manusia berdoa sesuai keinginan dan kepentingannya masing-masing.

Berharap doanya lebih kuat dan lebih kabul dari saudaranya sesama manusia.

Sedangkan Tuhan?

Tuhan bergerak sesuai kehendak-Nya sendiri, sembari menimbang mana yang lebih adil dan mana yang resikonya lebih kecil, dan menyesuaikannya dengan seratus ribu lebih takdir  manusia.

"Ya Tuhan, turunkan pada kami hujan yang bermanfaat" doa Sayyidina Rasulillah Maulana Muhammad Ibn Abdillah SAW

Gratitude Journal of Bapak Dua Anak #5

 Ampel, Surabaya, 10 November 2021.


Pagi ini ketika bangun entah kenapa saya langsung meraih tangan istri saya.

Sontak ia berkata "Ayah, selamat ulang tahun!!!"

Jujur saja saya lupa kalau hari ini saya genap berumur 32 tahun.

Saya kecup keningnya dan ia mulai berucap banyak doa bagi saya.

Saya mengamininya seraya memeluknya erat dan berterima kasih atas semua doa indah yang ia panjatkan, kemudian saya bangun untuk mengambil air wudhu.

..

Sesuai salam sholat subuh, tiba-tiba terdengar Suara menggema dari sela bilik-bilik terdalam Batin saya.

Diantara banyak lipatan kenangan dan memori, Suara itu muncul memanggil-manggil. Saya berusaha mencari sumber Suara itu.

Suara itu makin kencang dan saya terdiam, saya ingin mendengar apa yang Ia katakan.

Ternyata itu adalah Suara diri saya sendiri, Suara yang banyak dikenal orang dengan Higher Self.

"Hai" katanya, "duduklah".

Kemudian duduklah saya sembari memasang muka datar.

"Selamat Ulang Tahun ya" ujarnya.

Saya tersenyum simpul.

"Bagaimana kalau misal hari ini kita jadikan sebagai hari Wejangan dariku?"

Saya mengangguk. Tak ada salahnya, toh hari ini saya hanya akan melakukan pekerjaan rutin saya. Diam dan merenung tidak akan mengganggu runititas saya hari itu, baik sebagai ayah maupun sebagai pegawai.

..



Kemudian dimulailah sesi wejangan dari Diri Saya.

"Umurmu sudah 32 tahun, setengah jalan menuju umur ideal Baginda Nabi Muhammad, 63 tahun.

Sudah waktunya engkau berkomitmen pada Tuhanmu, alhamdulillah puji Tuhan engkau sudah rutin sholat dhuha dan puasa Senin-Kamis. Namun kita masih bisa melihat banyak hal yang bisa di improve. Sholat tahajudmu masih sebulan sekali. 5 ayat Al-Quran setiap setelah sholat fardlu juga masih jauh dari kenyataan. Banyak sekali ibadah rutinanmu yang menghilang.

Konsumsi gawaimu masih gila-gilaan. Farah, Fleur dan Finix masih menjadi nomor dua dalam aktifitasmu, karena Samsung masih menjadi nomor satu. Bisakah kau berkomitmen untuk mengurangi waktu bercumbu dengan gawaimu hanya menjadi satu setengah jam sehari?Tak bisa?kau masih ingin fokus ke menyelesaikan game Digimon-mu? Bagaimana dengan konsumsi Youtube-mu?mulailah saja dari situ.

Banyak hal yang ingin kau lakukan, Aku rasa semua bermanfaat, ambillah porsi waktunya dari konsumsi gawaimu.

Untuk karirmu, bisakah kamu fokus dan kerja sungguh keras pada fase proses-nya? Tahun lalu kamu sungguh meributkan hasil-nya, padahal itu bukan ranah dan areamu. Kamu sudah tahu "ujung" yang kamu inginkan dan sejak awal kamu tidak mempermasalahkan harus lewat jalan mana, istiqamah saja dengan hal itu. Untuk semua hal yang kamu overthinking-kan selalu berakhir dengan kegagalan, segala sesuatu yang berjalan lancar sedari awal dan kamu pasrahkan pada Tuhanmu selalu bernasib dengan baik. Selalu, seperti itu, sejak 12 tahun yang lalu.

Peluklah sering-sering Farah-Fleur-Finix, ajaklah mereka bercanda. Jangan terlalu kaku dan keras dengan Kekasihmu Farah itu, jangan pula terlampau berjarak dengan kedua Buah Hatimu. Sering-seringlah membaca dengan mereka berdua meskipun mereka terkadang enggan.

Keraslah pada dirimu, lembutlah pada orang lain, berdermalah selayaknya engkau jutawan, jangan terlalu tereksploitasi dengan hape-mu

dan yang terpenting, nikmatilah setiap detikmu dan setiap ibadahmu."

Ia berdiri, mengecup kening saya seraya berbalik dan berlari masuk kembali kedalam temaram, tersembumyi di gang-gang memori saya.

"Sering-seringlah mengajakku ngobrol" teriaknya dari kejauhan.

..

Tak terasa sudah pukul 22.00, saya mencium kening istri saya dan Fleur-Finix yang sudah terlelap tidur.

"Sial. Ternyata cukup lama juga dia menasehati saya" batin saya



Selasa, 09 November 2021

Gratitude Journal of Bapak Dua Anak #4

6 November 2021,07.33
Tunjungan-Embong Malang, Surabaya.

Sabtu pagi itu Kakek dan Nenek Fleur dan Finix datang berkunjung dari Pacitan. Mereka akan menginap barang sehari-dua hari untuk mengunjungi cucu-cucu kesayangan. Saya dan istri memutuskan mengajak mereka sarapan di salah satu kedai soto terkenal di kawasan Tunjungan, Surabaya. Dikarenakan masih khawatir akan bahaya virus dimasa pandemi, kami berenam memutuskan untuk duduk di meja di bagian luar kedai. Seperti biasa, sembari menunggu pesanan kami datang kami bersenda gurau. Terlihat kebahagiaan  terpancar dari sorot mata ayah dan ibu saya ketika melihat polah tingkah si Sulung dan Bungsu kami.
Tak jauh dari tempat kami duduk terlihat seorang bapak berumur kisaran 50 an, curi-curi pandang melihat kami berenam. Tersungging senyum simpul setiap beliau melihat kami, kemudian ia mengalihkan pandangannya ke keramaian jalan, menatap kosong jalan yang mulai padat itu.
Melihat kami lagi, tersenyum, lalu beralih memandang jalan  dan termenung kembali.
Berulang kali.

Ya, foto diatas adalah foto Sang Bapak.
Sesekali pandangan mata kami bertemu dan saya tersenyum padanya, beliau pun membalas dengan anggukan, kemudian termenung memandang kosong lagi ke jalan.
Saya menerka dalam hati tentang apa yang ada dalam kepala Sang Bapak
 "Apa yang sedang kau pikirkan pak?
 Rindukah engkau dengan istri anakmu? 
Dimanakah mereka?
Mengapa diakhir pekan yang cuacanya bagus ini kau duduk termenung seorang diri?
Mengapa engkau tak berkumpul bersama mereka?
Pak, apakah engkau melihat kami kemudian teringat keluargamu?
Apakah kau berharap bersama mereka sekarang?
Ataukah kau juga tertawa melihat kelucuan anak-anakku dan teringat akan cucumu?"

Beraneka asumsi dan pertanyaan timbul tenggelam dibenak saya.
Kemudian seketika saya tersenyum dan bersyukur pada Tuhan.
Ayah, Ibu, Ayah Mertua dan Ibu Mertua saat ini ada dalam keadaan sehat sentausa.
Kering dibawah atap yang hangat tanpa khawatir kehujanan.
Tercukupi kebutuhannya.
Bisa menikmati sujud mereka lima waktu dalam sehari.
Mampu menatap anak-anak mereka dengan bangga.
Sanggup tertawa mendengar celoteh cucu-cucunya.

"Apalagi yang kau inginkan?" kata seseorang menggema didalam relung hati saya yang terdalam.

Kami berenam beranjak dari tempat duduk kami saat usai makan, lalu berjalan menuju mobil. Melewati Sang Bapak yang kala itu masih termenung, menatap kosong hiruk-pikuknya Jalan Embong Malang, Tunjungan, Surabaya.
Tergerak saya untuk menyorongkan beberapa puluh ribu rupiah padanya namun hati saya menahannya.
"Belum Was, cukup doakan saja Beliau. Kita tidak tahu bagaimana reaksinya kalau kau menjulurkan uang itu." ujar batin saya.

Kemudian saya berlalu dan masuk ke mobil.
"Sehat selalu pak dan bahagialah" kata saya dalam hati. 

Kamis, 04 November 2021

Sebuah Resensi Picisan : Aksi Massa

 Identitas Buku 

Judul Buku : Aksi Massa

Penulis Buku : Tan Malaka

Penerbit Buku : Penerbit Narasi

Cetakan Tahun : 2013

Tebal Buku : 148 halaman


Ringkasan :

Ada dua tokoh nasional yang melampaui zamannya dalam pandangan saya, yang pertama adalah Presiden ke-4 Indonesia, KH Abdurrachman Wahid atau Gus Dur, yang kedua adalah Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka atau lebih dikenal dengan Tan Malaka. Gus Dur adalah seorang visioner dibidang reliji atau kerukunan antar umat beragama, sedangkan Tan Malaka adalah visioner dibidang kenegaraan. Beliau tidak lagi bisa disebut pendiri bangsa tapi mungkin bisa disebut inspirator para pendiri bangsa. Bagi saya kelas Tan Malaka disejajarkan dengan HOS Tjokroaminoto. Pemikirannya  menjadi rujukan bagi para pendiri bangsa, bahkan Ir. Soekarno membawa makalah Tan Malaka yang berjudul " Naar de Republiek Indonesia" saat berpidato di Pengadilan Belanda. 

Buku Aksi Massa adalah salah satu pengejawantahan pemikiran beliau dan bukti beliau adalah inspirator para pendiri bangsa. Visinya bagaimana menggerakkan bangsa Indonesia untuk menggoyang pemerintahan Kerajaan Belanda sangat jelas di buku ini, yang bahkan menurut saya masih relevan sampai saat ini jika dikaitkan dengan isu kesenjangan sosial di Indonesia. Di buku ini beliau juga dengan gamblang menarik benang merah isu sosio-kultural dan historikal mengenai bagaimana rakyat Indonesia hingga sedemikian dapat terkungkung dalam agenda penjajahan Belanda dan perbedaan mencolok apa yang terjadi antara pergolakan di Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di Asia seperti India dan Filipina.

Yang lebih mengagumkan lagi adalah bagaimana beliau sudah melek data dan mampu menggunakan perbandingan data statistika untuk mengungkapkan bagaimana kesenjangan ekonomi dapat bermuara pada suatu fenomena sosial disaat banyak tokoh-tokoh nasional lain masih bermain retorika dan kata-kata tanpa suatu dasar yang valid. Kemampuan memahami berbagai hal interdisipliner dan visi kenegaraan yang jelas inilah yang membuat Tan Malaka begitu berbahaya bagi pemerintahan Belanda di Indonesia yang sekaligus membuat beliau nampak "kering" bagi banyak masyarakat Indonesia kala itu. Meskipun karya-karya beliau banyak membuat terobosan dan menginspirasi banyak tokoh, beliau sendiri justru kalah pamor dibandingankan misalnya Bung Karno atau Sjahrir. Mungkin hal ini disebabkan beliau lebih sering berada di pengasingan atau bahkan berdiam diri menjauhi kejaran pemerintah Belanda.

Sebagai penutup, buku Aksi Massa ini masih relevan sebagai bacaan di masa sekarang tak hanya sebagai rujukan sejarah dan memahami bagaimana embrio pemikiran Indonesia merdeka tumbuh, juga karena banyak hal-hal yang masih bisa diimplementasikan dalam diri para tokoh politik dan pemimpin Indonesia yang saat ini dikacamata masyarakat mengalami dekadensi moral dan sebagai pijakan bagaimana seorang pemimpin ideal bertindak dan berpikir bagi masyarakat

Kelebihan :

Sebenarnya sebelum saya membuka halaman pertama, saya sudah merasa masih skeptis tentang apa yang akan saya peroleh setelah membaca buku ini. Aksi Massa adalah karya kedua Tan Malaka yang saya baca, sebelumnya saya Madilog yang sampai saat ini belum selesai saya rampungkan. Jujur memahami Madilog amatlah sukar. Diksi, susunan kata sampai istilah yang digunakan sangat berbeda dengan bahasa Indonesia resmi yang digunakan saat ini. Kemungkinan penerbitnya ingin menjaga Madilog seotentik mungkin agar tidak menimbulkan kerancuan makna. Sedangkan setelah membaca Aksi Massa saya lebih dapat memahaminya mungkin karena terdapat alih bahasa yang dilakukan penerbit untuk mempermudah pembaca memahami apa maksud tulisan Aksi Massa.


Kekurangan :

Terkait dengan kelebihannya, sebetulnya menurut hemat saya alih bahasa juga bisa menjadi pedang bermata dua. Meskipun sama-sama menggunakan bahasa Indonesia, bahasa yang digunakan pada karya Tan Malaka aslinya adalah bahasa Melayu era 1910-1930an yang bahkan seorang Soe Hok Gie saja mengalami kerancuan dalam mengartikan banyak istilahnya. Kekurangan yang dapat saya sampaikan adalah jika semua tulisan pada buku ini mengalami alih bahasa sedemikian rupa maka muncul kekhawatiran bahwa makna dan konteksnya bisa saja tidak tepat sasaran atau meleset dari apa yang dimaksud sesungguhnya oleh Tan Malaka. 

Sebagai saran konstruktif sebagai pembaca dan untuk para pembaca lain, mungkin lebih lanjut pembaca dapat mencari buku yang sama dari penerbit lain yang tanpa menggunakan alih bahasa sebagai pembanding atas buku Aksi Massa yang dialihbahasakan oleh penerbit Narasi sehingga dapat memaknai sendiri atas apa yang dituliskan Tan Malaka

Molta

O kawan dengarlah dengar Tentang tanah bernama Molta .. Orang kini menyebutnya Lemuria. Lainnya menyebut Atlantis Sebagian sana memanggilnya...