6 November 2021,07.33
Tunjungan-Embong Malang, Surabaya.Sabtu pagi itu Kakek dan Nenek Fleur dan Finix datang berkunjung dari Pacitan. Mereka akan menginap barang sehari-dua hari untuk mengunjungi cucu-cucu kesayangan. Saya dan istri memutuskan mengajak mereka sarapan di salah satu kedai soto terkenal di kawasan Tunjungan, Surabaya. Dikarenakan masih khawatir akan bahaya virus dimasa pandemi, kami berenam memutuskan untuk duduk di meja di bagian luar kedai. Seperti biasa, sembari menunggu pesanan kami datang kami bersenda gurau. Terlihat kebahagiaan terpancar dari sorot mata ayah dan ibu saya ketika melihat polah tingkah si Sulung dan Bungsu kami.
Tak jauh dari tempat kami duduk terlihat seorang bapak berumur kisaran 50 an, curi-curi pandang melihat kami berenam. Tersungging senyum simpul setiap beliau melihat kami, kemudian ia mengalihkan pandangannya ke keramaian jalan, menatap kosong jalan yang mulai padat itu.
Melihat kami lagi, tersenyum, lalu beralih memandang jalan dan termenung kembali.
Berulang kali.
Ya, foto diatas adalah foto Sang Bapak.
Sesekali pandangan mata kami bertemu dan saya tersenyum padanya, beliau pun membalas dengan anggukan, kemudian termenung memandang kosong lagi ke jalan.
Saya menerka dalam hati tentang apa yang ada dalam kepala Sang Bapak
"Apa yang sedang kau pikirkan pak?
Rindukah engkau dengan istri anakmu?
Dimanakah mereka?
Mengapa diakhir pekan yang cuacanya bagus ini kau duduk termenung seorang diri?
Mengapa engkau tak berkumpul bersama mereka?
Pak, apakah engkau melihat kami kemudian teringat keluargamu?
Apakah kau berharap bersama mereka sekarang?
Ataukah kau juga tertawa melihat kelucuan anak-anakku dan teringat akan cucumu?"
Beraneka asumsi dan pertanyaan timbul tenggelam dibenak saya.
Kemudian seketika saya tersenyum dan bersyukur pada Tuhan.
Ayah, Ibu, Ayah Mertua dan Ibu Mertua saat ini ada dalam keadaan sehat sentausa.
Kering dibawah atap yang hangat tanpa khawatir kehujanan.
Tercukupi kebutuhannya.
Bisa menikmati sujud mereka lima waktu dalam sehari.
Mampu menatap anak-anak mereka dengan bangga.
Sanggup tertawa mendengar celoteh cucu-cucunya.
"Apalagi yang kau inginkan?" kata seseorang menggema didalam relung hati saya yang terdalam.
Kami berenam beranjak dari tempat duduk kami saat usai makan, lalu berjalan menuju mobil. Melewati Sang Bapak yang kala itu masih termenung, menatap kosong hiruk-pikuknya Jalan Embong Malang, Tunjungan, Surabaya.
Tergerak saya untuk menyorongkan beberapa puluh ribu rupiah padanya namun hati saya menahannya.
"Belum Was, cukup doakan saja Beliau. Kita tidak tahu bagaimana reaksinya kalau kau menjulurkan uang itu." ujar batin saya.
Kemudian saya berlalu dan masuk ke mobil.
"Sehat selalu pak dan bahagialah" kata saya dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar