Depok. 25 Februari 2022, 2 bulan pasca kepindahan kami dari Surabaya
Saya adalah orang yang sentimentil. Saya gemar mengumpulkan berbagai pernak-pernik memorabilia. Saya suka mengingat lokasi-lokasi tertentu, tanggal-tanggal khusus. Saya menempelkan kenangan dan emosi saya saat mengingat Jogja. Saya suka bersendu-sendu saat berkhayal tentang temaram yang nyaman di sudut kota Solo. Saya teringat hujan dan alunan Katjie & Piering saat berpikir tentang Bandung. Anehnya saya tidak mau melakukan hal itu untuk Surabaya.
Apakah Surabaya kurang romantis? Kurang romantis apa hujan rintik-rintik sambil ditemani seduhan teh hangat di pojokan kafe di Seputaran Tunjungan.
Apakah Surabaya kekurangan lagu yang bertemakan kota? Surabaya Oh Surabaya dari Sundari Soekotjo, Rek Ayo Rek dari Mus Mulyadi, Tanjung Perak oleh Waldjinah, belum lagi satu album dari Silampukau bertajuk Dosa, Kota dan Kenangan.
Apakah kami tidak punya banyak hal-hal yang sentimentil di Surabaya? Jangan salah, setiap minggu kami bertamasya keliling kota dengan selalu membawa hal yang patut saya simpan ceritanya didalam mind palace saya
Saya hanya tidak mau menyimpan kenangan tentang Surabaya karena bagi saya Surabaya tidak patut saya tinggalkan. Kami ingin tumbuh bersama dan besar di Surabaya. Bagi kami Surabaya adalah kota yang ideal. Ia tidak jauh dari Solo dan Pacitan, kota tempat keempat orang tua kami tinggal. Ia cukup metropolis dimana berbagai macam tempat hiburan dan pusat ekonomi berada, meskipun tidak semegah Jakarta. Ia masih tidak banal dan kejam dengan segala hiruk pikuknya. Ia masih bisa mengajarkan unggah-ungguh serta tatakrama Jawa, namun disaat yang sama juga tetap menawarkan kemodernitasan dan kompetisi.
Kami bersyukur pernah tinggal di Surabaya dan kami berharap dapat kembali tinggal disana, hingga hari tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar