“History has been written by the victors” Sir Winston Churchill.
“What is History? An echo of the past in the future ; a reflect from the future on the past” Victor Hugo
Memahami apa dan bagaimana sebenarnya Gerakan 30 September adalah salah satu keinginan saya. Saya sampai sekarang juga masih bingung bagaimana ketertarikan begitu dalam terhadap peristiwa tsb. Pada tahun 1996 hingga 1998, sama seperti rekan-rekan sebaya, saya begitu takut sekaligus penasaran setiap mendekati tanggal 30 September karena bayangan kengerian film “Pengkhianatan G 30 S PKI” sudah terbayang di kepala saya. Di tahun-tahun itu pula kedua orangtua saya sering memberikan “spill” mengenai berbagai hal seputar Gerakan 30 September dan implikasinya bagi kehidupan kami. Museum Pemberontakan PKI Sumur Soca di Madiun, perburuan simpatisan PKI tahun ’65-’69, lokasi terbunuhnya Aidit di dekat rumah nenek saya di Surakarta, banyaknya nama jalan yang mengambil nama Pahlawan Revolusi, kultus individu Pak Harto,para Tapol, daftar nama keturunan anggota PKI di Koramil adalah beberapa cerita yang beliau berdua sampaikan pada saya yang saat itu belum lulus SD. Beberapa tahun kemudian baru saya tahu bahwa beberapa moyang jauh dari sisi ayah dan ibu saya ternyata juga terdampak oleh peristiwa Gerakan 30 September karena menjadi anggota Gerwani dan/atau seorang Sukarnois (Moyang saya banyak yang berasal dari Klaten, Surakarta, dan Madiun). Lucunya juga, setelah saya menikah saya baru tahu bahwa kakek istri saya adalah eks anggota RPKAD yang menggunakan rumahnya (yang saat sampai saat ini masih ditinggali ibu mertua saya) di Laweyan, Surakarta sebagai markas sementara saat perburuan anggota PKI tahun ’65. Rumah tsb konon juga sekawasan dengan kantor pertama PKI di Indonesia.
“Sejarah ditulis oleh para pemenang” ujar Winston Churchill seperti yang saya sampaikan diawal tulisan ini. Di masa Orde Baru, Presiden Suharto mati-matian men-deSukarno-isasi Indonesia, memaklumatkan bahwa PKI adalah iblis penyebab tewasnya para jenderal, menyamaratakan semua dosa anggota PKI, serta memburu mereka. Pendek kata, Presiden Suharto mencoba menuliskan sejarah Indonesia melalui versi beliau. Pasca masa Reformasi 1998 dengan dibukanya keran demokrasi, para peneliti, sejawaran, advokat, LSM, keturunan anggota PKI berlomba-lomba meneliti, membuka kembali dan merekonstruksi kembali sejarah Gerakan 30 September. Banyak diantaranya yang mencoba mengemukan fakta sejarah baru, mendakwa para jenderal yang menurut mereka bersalah serta berusaha membersihkan mereka yang terfitnah. Namun terkadang realitas mengecewakan dan mengkhianati usaha. Sampai saat ini masyarakat awam serta pandangan umum di Indonesia masih beranggapan bahwa PKI dan pengikutnya adalah setan yang seratus persen bertanggung jawab atas kematian enam jenderal, wajar diburu dan wajib dibunuh, berdosa abadi serta harus diwaspadai kebangkitannya. Dalam hal ini bisa dikatakan Presiden Suharto adalah pemenang sejati yang sudah menulis sejarah Gerakan 30 September, mendarah daging dan terpatri di benak masyarakat Indonesia.
Apakah saya menyukai ideologi komunis yang dibawa PKI? Ataukah saya bersimpati pada PKI? Jawabnya : sama sekali tidak. Saya merasa pada posisi netral malah terkadang sinis pada PKI. Terlahir seorang muslim dan berusaha menjalankan “laku” selayaknya muslim, saya merasa ide “menjadi ateis” adalah suatu hal konyol. Sebagai makhluk yang baru benar-benar maju dalam 2 milenium ini serta bahkan belum pernah menginjakkan kakinya di Planet Mars, mengucapkan Tuhan itu Tidak Ada adalah hal yang luar biasa sombong dan terlampau tolol. Belum lagi konsep masyarakat komunis yang menurut saya cukup absurd karena sejak jaman munculnya Ledakan Besar hingga invasi Rusia ke Ukraina 2022, Tuhan sudah menetapkan bahwa selalu ada si Kaya dan si Miskin. Kehidupan manusia tanpa kelas adalah utopis. Kekejaman Stalin, Mao, Pol Pot dan bubarnya Uni Soviet adalah stempel legitimasi argumentasi saya. Disisi lain bagaimana kematian 6 orang perwira tinggi militer dan 1 orang perwira menengah dapat mengakibatkan pembunuhan 3 juta orang dan perubahan masif dalam tatanan satu negara membuat saya mengernyitkan alis sembari bergumam “saya harus mencari kebenaran saya sendiri”.
Berbagai sebab serta motivasi tadi bercampur dengan mudahnya akses terhadap berbagai sumber pengetahuan di era keterbukaan info saat ini semakin menyuburkan keingintahuan saya terhadap sejarah yang masih tertutup kabut tadi. Saya bukanlah seseorang yang ikut-ikutan mencari dan menyuarakan kebenaran seperti para sejarawan atau advokat pembela HAM, atau meminjam istilah Marie Chauvel dalam buku The Davinci Code “ modern troubadour”. Apa yang saya lakukan juga bukan dalam rangka akademis apalagi politis serta jauh dari metode saintifik khas seorang sejarawan. Apa yang saya lakukan selama ini tak lebih dari mengamati, membaca dan melihat. Saya hanyalah seorang penikmat sejarah. Seseorang yang ingin merefleksikan masa lalu sebagai bagian ilmu kebijaksanaan untuk melangkah ke masa depan. Sama seperti yang disampaikan Victor Hugo lebih dari 100 tahun yang lalu. Memegang suluh mencari kebenaran dalam kegelapan sejarah bagi khasanah kebijaksaan hati.
Saya menggunakan berbagai sumber-sumber referensi, mengoleksi berbagai buku tidak hanya mengenai Gerakan 30 September tapi juga mengenai rentetan-rentetan besar yang sedikit banyak berkontribusi pada peristiwa tsb. Saya juga berusaha menelaah berbagai video baik dikanal youtube atau di media lain berkenaan dengan Gerakan 30 September. Penulis seperti Rex Mortimer serta John Rossa menjadi sering saya baca tulisannya. Istilah seperti Lekra, Angkatan Kelima, Nefo menjadi familiar di telinga saya. Banyaknya sumber bacaan dan pengamatan lain awalnya membuat saya masih menerka-nerka banyak hal. Buku mengenai kejadian dihari-H pelaksanaan Gerakan 30 September membuat saya mengenali dan membayangkan tindak tanduk pihak-pihak yang terkait dan terdampak peristiwa tsb. Literatur mengenai suasana sosial politik masyarakat tahun 1945-1965 memberikan saya pemahaman mengenai nuansa dan alasan besar kemungkinan penyebab Gerakan 30 September. Referensi mengenai sejarah terbentuknya PKI dan ABRI serta tokoh-tokoh pendirinya memberikan citra visi mereka yang akan terproyeksi pada para penerus masing-masing pihak yang nantinya terkait dan terdampak Gerakan 30 September. Ibarat puzzle, kepingan-kepingan sejarah dari berbagai sumber tadi sudah terkumpul hampir lengkap. Namun bagaimana menyusunnya puzzle tsb adalah perkara lain.
Tahun 2019 saya membeli buku berjudul “Sukarno, Tentara dan PKI” karya Rosihan Anwar dan di tahun 2022 saya membeli buku “Kronik Abad Demokrasi Terpimpin” karya Koesalah Toer. Kedua buku ini memiliki kesamaan. Dalam kedua buku tersebut disajikan peristiwa yang terjadi dari hari ke hari sejak 1959, tahun permulaan Demokrasi Terpimpin buatan Bung Karno hingga 1967 dimana Bung Karno secara de facto “turun tahta” sebagai presiden Indonesia. Berulang kali saya baca kedua buku itu. Terkadang sekilas lalu, namun acap kali perlahan-lahan. Berasa memahami rangkaian kejadian dari hari ke harinya hingga meletusnya Gerakan 30 September. Puzzle dalam kepala saya perlahan mulai tersusun. Apa yang selama ini tak masuk akal menjadi logis. Ucapan yang disebutkan seorang tokoh 30 tahun sebelum Gerakan 30 September menjadi beralasan. Gerak-gerik tokoh yang terkait dan terdampak menjadi bisa dijelaskan. Semua potongan informasi sejarah yang selama ini saya dapat mulai tersusun rapi, banyak hal bisa mulai dijelaskan. Namun ada secuil bagian di pikiran saya masih gamang. Bagian pikiran yang menjadi kepingan puzzle terakhir di otak saya ini membutuhkan sesuatu yang lain. Ia tak bisa diyakinkan dengan obrolan diskusi, tambahan literatur tambahan atau bahkan cuplikan wawancara dari youtube. Saya memang tak getol berusaha bertanya dengan para akademisi karena tak siap dengan pertanyaan “buat apa Mas tanya-tanya begitu?”. Dengan agak sembrono, saya kemudian teringat Will Graham. Layaknya Will Graham, profiler FBI dalam buku Red Dragon karya Thomas Harris, dengan mendatangi TKP dan mendapatkan kesan dan atmosfer dari TKP suatu pembunuhan tsb ia mendapatkan kilasan dalam kepalanya yang memberikan petunjuk dan bukti. Mungkin yang saya perlukan adalah nuansa, atmosfer, serta ambience yang mungkin dapat memberikan jawaban. Bagi beberapa orang tak masuk akal namun saya yakin dapat menemukan keping terakhir puzzle saya. Berdasarkan itu saya berniat untuk mendatangi tempat yang disucikan oleh Orde Baru. Tempat sakral yang menjadikan ke-enam jendral martir itu sebagai alasan pembantaian 3 juta simpatisan PKI : Monumen Lubang Buaya.
Pada1 Februari 2022 saya berkunjung ke Monumen Lubang Buaya. Datang kesana memberikan saya kesan yang ambigu. Meskipun tempatnya sejuk dan rindang, namun tetap membuat kuduk saya berdiri. Pepohonan yang besar dan terawat, parkiran yang luas dan bersih, tapi tetap tidak mampu menyembunyikan bahwa ditempat inilah awal mula sejarah Indonesia berbalik 180 derajat. Setelah parkir saya tidak mengarah ke Museumnya, jujur saya tidak tertarik dengan segala diorama pemberontakan yang disajikan di Museum Pengkhianatan PKI. Bukan untuk itu saya datang kesini. Tujuan saya hanya tiga. Cungkup Sumur Maut, Rumah Tahanan tempat ketujuh korban yang menurut Orde Baru disiksa, yang terakhir Tugu Monumen Pancasila Sakti. Seketika melihat secara langsung ketiga tempat tadi membuat apa yang saya baca, lihat, ketahui, renungkan selama ini berputar dikepala saya. Foto antrian masyarakat yang mengantri makanan, makam-makam di ujung Pulau Buru, teriakan menggebu Bung Karno di GBK, jeritan istri Jendral Ahmad Yani di film Pengkhianatan G30S/PKI dan kejadian kejadian lain secara simultan bermain dan keluar dari lipatan-lipatan memori. Peristiwa-peristiwa yang saling berkaitan berputar perlahan-lahan, lambat laun kepingan terakhir puzzle dari semua rangkaian peristiwa tadi muncul dan membuat puzzle-nya lengkap dan utuh.
Detik itu, tepat tengah hari 1 Februari 2022, bagi saya pribadi siapa bagaimana mengapa Gerakan 30 September sudah terjawab.
Kepingan puzzle terakhir yang saya dapat, membuat kabut kelam sejarah Gerakan 30 September menjadi terang benderang dikepala saya. Saya sudah memiliki jawaban saya sendiri. Tentunya apa yang saya anggap kebenaran yang saya yakini tentulah tidak selalu sesuai dengan kebenaran yang orang lain yakini. Karena sejarah juga sangat erat hubungannya dengan sudut pandang. Namun kebenaran itu cukuplah untuk membuat saya menutup buku keingintahuan saya. Membuat saya berhenti dalam perjalanan pencarian ini, melengkapi bekal untuk menjadi kebijaksanaan saya untuk melihat dan menerka hari esok serta membuat saya bisa memulai untuk membuka buku baru untuk keingintahuan dan kebijaksanaan yang lain.
“Kami mengetahui semua sejarahnya. Akan tetapi nona, jangan terburu-buru. Kalian harus meneruskan perjalanan kalian, dengan kapal ini, meniti setiap langkah. Aku berpendapat bahawa kami dan para penduduk Ohara terlalu sedikit terburu-buru. Bahkan kalau aku menceritakan seluruh kejadian padamu sekarang , kamu pun tak bisa melakukan apa-apa. Kamu harus melihat segala isi dunia ini dengan baik. Dan siapa tahu, kau bisa mendapatkan kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan yang kami dapatkan” Silver Rayleigh kepada Nico Robin mengenai sejarah Void Century