Kamis, 21 Oktober 2021

Gratitude Journal of Bapak Dua Anak #2

 Solo, 19 Oktober 2021 20.56 WIB


Malam ini Saya dan Bundanya Fleur - Finix sedang asyik menjelajah linimasa sosial media, kami sedang nikmat-nikmatnya "ghibah" terhadap kehidupan kawan-kawan daring kami dan artis-artis dadakan Instagram.

Ada yang nampak bahagia betul dengan kehidupan berkeluarganya (berdasarkan apa yang kami lihat di sosial media)

Ada yang nampak bijak nian dalam memaknai kehidupan (berdasarkan quotes-quotes yang beliau buat di sosial media)

Ada yang nampak sudah bebas terlepas melewati kerasnya masa perjuangan keluarga muda dengan tidak lagi berkutat dengan masalah popok-SPP-KPR (berdasarkan foto-foto liburannya)

...

Kami secara sadar mengadili dan mengomentari apa yang kami lihat, itulah enaknya ghibah. Tentunya kami melakukan ini bukan tanpa alasan, teman daring kami, mereka sudah meletakkan kehidupan mereka di ruang milik publik bernama Instagram. Sosial media ibarat tak ubahnya jalan raya dimana kanan-kirinya penuh dengan toko-toko berupa akun Instagram, Facebook kita semua. Etalase tokonya berisi foto unggahan,  postingan, reels, vlog, story, dsb. Kita sebagai pengguna jalan tentu akan menilai bahkan mencibir apa yang ada di etalase, setidak-tidaknya dalam hati. (meskipun disitu pulalah letak dosanya). 



Saya sering berpikir sembari nyinyir "Semua itu kebohongan, tidak mungkin senikmat itu kehidupan. Mereka hanya menampilkan sisi manis kehidupan mereka. Riwehnya ngurus balita, Indiehome yang lupa terbayar, atau pajak mobil yang harus dibayar bulan depan tak mungkin di-ekspose di sosial media. Hahahahah" 

Kami sadar apa yang kami lakukan adalah nganggur yang kebangetan hanya untuk mencibir orang lain. Namun suatu kebodohan yang lebih tak ketulungan kalau kita mencoba menampilkan dan menyajikan kehidupan kita hanya demi mendapatkan atensi, approval dan validasi dari orang lain. Sosial media membuat kita membuat proyeksi atau persona diri kita, atau dalam istilah salah satu komedian dari Amerika Serikat, Bill Maher "Our Avatar "

"The rest of us really live two lives. There's the real of us, the person in the kitchen, or a bar who speaks like a human with trusted friends. And there's what I call our avatar. Our avatar looks and sounds like us but it's not really us. It's a persona we adopt in any sort of public sphere which now includes our followers on Twitter and Instagram and our friends on Facebook....we craved any kind of authenticity because of our avatar is full f shits..."- Bill Maher, Real Time With Bill Maher, HBO, 2018 

*https://www.youtube.com/watch?v=Kx-E54P_pOY&t=181s

Bahkan kecenderungan saat ini, kita sangat bahagia jika mendapatkan atensi, approval dan validasi dari follower kita di sosial media berupa like, comment, serta tambahan follower. Semakin banyak like-comment-follower kita, semakin terpuaskan diri kita. Karena memang unsur-unsur diatas dibuat oleh taipan media untuk melepaskan sejumlah endorfin di otak kita sehingga menimbulkan efek euforia bahkan kecenderungan adiktif.

(Catatan : Menjadi seseorang yang terkenal di sosial media adalah sebuah cita-cita saat ini. Survey Harris Poll tahun 2019 menyatakan 29% anak usia 8-12 tahun di Amerika Serikat bercita-cita menjadi terkenal secara online. Bahkan menurut YPulse, saat ini 72% Gen Z ingin menjadi online celebrity)



Masalahnya ini juga sering terjadi di diri saya pribadi. Beberapa kali merasa sedih ketika postingan Instagram saya tidak mendapat like yang banyak, atau saya merasa postingannya kurang sedap dipandang.  Disaat yang sama, saya merasa iri dengan kawan-kawan saya yang sudah bisa lepas dari jerat tipu sosial media tersebut. Nampak tidak terbelenggu dengan "foto harus estetik". Malam ini lah saya menyadari bahwa kita harus mengurangi kehidupan dunia maya kita dan menjalani kehidupan nyata kita dengan sepenuh-penuhnya, sesungguh-sungguhnya. Tak perlu terpaku pada siapa yang akan melihat, berapa jumlah like yang akan didapat, atau siapa yang akan memberikan komentar.Karena sungguh yang terpenting adalah menjalani kehidupan dunia nyata kita dengan penuh kebahagiaan. Kalaupun kita sempat mengabadikan momen kebahagiaan tsb dan kita bagi di sosial media, semoga ada yang mendoakan kita dengan kata-kata "semoga mereka senantiasa bahagia  selayaknya seperti apa yang saya lihat di postingan sosial media mereka"




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Molta

O kawan dengarlah dengar Tentang tanah bernama Molta .. Orang kini menyebutnya Lemuria. Lainnya menyebut Atlantis Sebagian sana memanggilnya...