Kamis, 03 Agustus 2023

Quote Ceria Aulia #6

Mulane kowe ki nyambut gawe, panggah obah, sak cukupe.
Wayahe ngaji, ngaji.
Wayahe ngibadah, ngibadah.
Neg kowe arep nata uripmu dhewe kangelan, pasrahne Gusti Allah.
Kowe ki dudu Gusti Allah, kok kowe ndadak nata.
Diplanning urip e ngene-ngene.
Beh kesuwen kaya wong mendo

Makanya kalian itu kerja, aktifitas, secukupnya saja.
Waktunya ngaji, ngaji. Waktunya ibadah, ya ibadah.
Kalau kamu mau menata hidupmu sendiri, sulit; pasrahkan pada Allah.
Kamu kan bukan Allah ko belagak menata hidup.
Di-planning hidup itu begini-begitu.
Kelamaan kaya orang tolol.


Ustadz Muhammad Iqham Kholid (Gus Iqdam) - Blitar

Sebuah Resensi Picisan : Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto

Identitas Buku 

Judul Buku : Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto

Penulis Buku : Salim Haji Said

Penerbit Buku : Penerbit Mizan

Cetakan Tahun : 2016

Tebal Buku : 379 halaman


Ringkasan :

Salim Haji Said sebagai salah satu peneliti ilmu politik terkemuka Indonesia mempersembahkan satu buku cerdas yang dapat memberikan gambaran pada kita bagaimana perputaran arus kekuasaan di sekitar "The Smiling General" Soeharto. Sebagai orang Indonesia yang lahir di era 90an, kesan saya mengenai Presiden Soeharto hanyalah 3 hal. Orang yang membuat Indonesia tenang, tenteram, sekaligus menakutkan. Membaca buku ini membuat saya lebih dalam memahami mengapa beliau bisa membuat Indonesia menjadi tenang, tenteram sekaligus menakutkan. Beliau begitu jenius mengelola orang-orang kuat disekitarnya, memanipulasi psikologis masyarakat serta memainkan catur politik Indonesia, selama 30 tahun. 
Khususnya buku ini lebih terfokus pada bagaimana kisah Presiden Soeharto dalam menjalin hubungan dengan dengan tokoh-tokoh militer disekitarnya sejak era awal Orde Baru hingga turunnya beliau di 21 Mei 1998 serta kisah-kisah. Dibagi menjadi 14 bab, dimana 9 menjelaskan relasi pak Harto dengan setiap tokoh-tokoh militer yang berada dilingkaran dalam beliau serta 5 bab tambahan mengenai masalah Dwifungsi ABRI hingga proses pencalonan Presiden Soeharto menjadi Jenderal Bintang 5. Dalam 9 bab inilah kita bisa mengagumi kedalaman pengetahuan serta keluasan koneksi Salim Haji Said sehingga mampu mendapatkan banyak inside information yang hanya bisa didapat dari ring 1 pak Harto. Keberanian Salim Haji Said dalam mewawancara tokoh-tokoh yang terkenal angker dan bengis namun tetap dapat mendapatkan informasi yang terpercaya adalah hal yang patut diacungi jempol. Tak kurang hubungan pak Harto dengan 10 Jenderal penting Indonesia yang membentang dalam kurun waktu 30 tahun dibahas.
Mulai dari mengenai para Jenderal yang mengamankan langkah pak Harto, intrik-intrik politik antar Jenderal dalam "merebut" hati pak Harto hinggal loyalitas membabi-buta terhadap pak Harto yang berakhir dengan ironis. Kekuatan narasi dan analisa politik dalam buku ini yang (bagi saya pribadi) hasil kemampuan men-sari-kan kejadian serta informasi hasil koneksi Salim Haji Said terbukti dapat membuat 379 halaman terasa seperti sesingkat cerpen.
Sebagai penutup, buku ini dapat dijadikan preambule bagi seseorang yang ingin memahami bagaimana Presiden Soeharto melanggengkan kekuasaannya selama 30 tahun sebelum membaca buku lain yang lebih detail membahas hal tsb.

Kelebihan :

Kedalaman adalah hal pertama dan utama yang perlu saya puji dari buku ini. Opini yang terlontar dari masing-masing tokoh yang masih terasa sekali emosinya, hasil wawancara, catatan-catatan terhadap peristiwa terkait setiap tokoh membuat apa yang disampaikan Salim Haji Said dalam buku ini sangat terasa detail dan dalam


Kekurangan :

Bab pertama buku ini mengenai 3 Jenderal "King Maker" yakni Kemal Idris, HR Dharsono, Sarwo Edhi hingga Bab kedua mengenai Jenderal Jusuf terasa sedikit meloncat dari timeline yang penulis tahu. Era relasi pak Harto dengan Jenderal Kemal Idris - HR Dharsono - Sarwo Edhi (sependek pengetahuan penulis) adalah tahun 1966-1968 sedangkan relasi dengan Jenderal Jusuf di kisaran 1974 an sehingga penulis merasa perlu ada bab yang disisipkan untuk mengisi gap antara tahun 1968 hingga 1974.

Kutipan Favorit : 
"Bapak (Presiden Soeharto) itu sebenarnya Raja, tapi sekarang istilah Raja tidak dipakai lagi. Yang dipakai Presiden saja"

Molta

O kawan dengarlah dengar Tentang tanah bernama Molta .. Orang kini menyebutnya Lemuria. Lainnya menyebut Atlantis Sebagian sana memanggilnya...