Kala itu matahari cukup garang menyinari Kota Surabaya, entah berapa suhunya. "Pasti 39° C" ujar saya dalam hati. Sudah cukup lama saya duduk di kantin favorit para buruh dan tukang itu. Bertempat di pojokan di dalam kawasan proyek pembangunan komplek apartemen, kantin itu bisa dibilang kantin proyek paling bersih dan rapi yang pernah saya temui. Sudah sekitar setengah jam saya menunggu staff peralatan dari kontraktor yang bertanggung jawab di proyek itu sembari ditemani segelas Es Cao.
Es batu kristal di gelas Es Cao saya sudah mencair  saat terdengar sayup adzan sembahyang dhuhur.

"Setengah dua belas" batin saya sembari mengecek jam tangan digital. Saya berdiri lalu bertanya pada satpam yang kebetulan bersantai di bangku sebelah saya. "Pak, masjid pundi nggih? (Pak, masjid mana ya)" dengan bahasa jawa halus beraksen Solo-Jogja. "Njaba Mas, sampean solat nang musola ae. Ndek pocok kae lo mas." jawabnya dengan bahasa jawa aksen Surabaya kental. Sial, hampir 2 tahun saya hidup di Surabaya masih saja kentara logat asli saya. Setelah menitipkan gelas Es saya yang belum habis ke penjaga warung, saya melangkah gontai menuju musala* yang ditunjukan satpam tadi. 

*Musala adalah ruangan, tempat atau rumah kecil menyerupai masjid yang digunakan sebagai tempat salat dan mengaji bagi umat Islam. Musala juga sering disebut dengan surau atau langgar di beberapa daerah (Wikipedia) tempat salat; langgar; surau (KBBI)

Ketika sampai saya sempatkan melongok dalam ke musala. Musala itu nampak baru dan kelihatan dibuat dengan sungguh-sungguh meskipun hanya terbuat dari kayu dan triplek Tidak bagus tapi rapi dan sederhana. Di dalam musala hanya nampak satu sajadah berwarna hijau yang cukup bersih. "Lumayanlah daripada tidak sama sekali" batin saya. Karena situasinya cukup sepi, saya beranikan diri melepas jam tangan dan meletakkannya diatas sajadah beserta masker dan kunci mobil saya diatas sajadah untuk mencari keran air.
Pada saat akan mencari air wudhu itulah saya terperanjat. Saya berdiri tepat di muka bangunan bedeng dari triplek berukuran 5x12 meter tanpa daun pintu, didalamnya terdapat kolam air besar terbuat dari semen cor tidak dihaluskan berukuran 3x8 m. Didalam bedeng itu, tepat tiga meter didepan saya, lima orang bapak setengah baya berdiri telanjang bulat nampak basah kuyup mengguyurkan air dari kolam tersebut. Mereka mandi ditengah hari.
Seketika saya tertegun dan terdiam beberapa saat. Salah seorang bapak melihat saya terdiam dan beliau mengangguk pada saya. Sekejab saya tersadar dan sambil canggung "Amit Pak, ajeng nunut wudhu" (Permisi Pak, mau numpang wudhu). "Nggih mas" balasnya santai sambil melanjutkan menyiram badannya yang polos tanpa sehelai benang didepan saya.
Secepatnya saya menyelesaikan wudhu, kemudian keluar dari bedeng tersebut segera saya sembahyang sholat dhuhur di musala tadi dengan tidak khusyuk. Pemandangan tadi cukup mengganggu imajinasi saya. Pemandangan tadi entah kenapa mengusik saya. Setelah selesai, saya duduk termenung diatas sajadah. Berusaha mencerna apa yang saya lihat.
...
Ternyata hidup sebegitunya..
Bapak-bapak yang rela telanjang mandi di tempat yang kurang layak,
dengan gaji mungkin dibawah UMR,
dengan tempat tidur seadanya,
dengan tumpukan hutang di kantin proyek terbersih yang pernah saya temui,
dengan rokok kretek di mulut, bor dan palu di tangan kanan, botol air mineral di tangan kiri,
bekerja di proyek bangunan apartemen yang  mungkin tidak akan mereka bisa mereka beli dalam sisa hidup mereka,
yang akan dibeli orang-orang kota yang mungkin tidak akan pernah mereka pakai demi sebuah alasan "investasi".
...


Kemudian batin saya berkata "Well, mari kita liat dari sudut pandang lain"
Bapak-bapak bersemangat yang kepayahan,
mandi menyegarkan diri untuk menyambut makan siang sayur asem oseng tempe yang mereka sangat syukuri,
di kantin proyek yang rapi nan bersih yang jarang mereka temui,
kemudian setelah makan mereka bisa menikmati sebatang rokok kretek yang akan mereka nikmati disetiap tarikannya,
selepas makan nanti mereka sekejab bisa melakukan video-call dengan anak istri di desa yang mereka rindukan,
sambil berharap akhir bulan nanti hasil opnaman ayahnya bisa untuk membayar SPP dan cicilan Satria F 
...
tak lama sisi batin lain saya berteriak " Saya juga punya KACAMATA lain"
Bapak-bapak yang sedang mandi telanjang bulat tadi,
masih sempat menyapa anak muda tanggung usia 30-an,
anak muda yang secara finansial mungkin lebih baik dari mereka,
anak muda yang secara pekerjaan mungkin lebih mentereng dari mereka,
anak muda yang secara fasilitas kehidupan mungkin lebih nyaman dari mereka,
Bapak-bapak tadi mungkin membatin "semangatlah anak muda, jalanmu masih panjang" sembari melanjutkan mandi
atau membatin
"cih, siapa lagi kamu, aneh melihat kami mandi telanjang bulat begini?kaget?"
atau membatin
"hmmmmm, apa yang tadi kupikirkan sebelum melihat pemuda ini,sedang melamun apa aku tadi..."
...
sisi terang batin saya tiba-tiba bersorak "Gantian aku sekarang!!!"
Bapak-bapak tadi sedang mandi sembari melamun,
melamun saja,
mereka tidak pernah memikirkan orang lain,
mereka hanya memikirkan apa yang ada dihadapannya,
dan bersyukur disetiap detiknya,
dan menjalaninya sembari berharap Tuhan bersama mereka,
meskipun mereka jarang sembahyang,
tapi mereka tahu disetiap peluh mereka, 
mereka menjalani apa yang Tuhan takdirkan.
..
dari palung batin terdalam muncul suara membisik
"sudahi renunganmu dan melangkahlah.
setiap orang memiliki kisahnya masing-masing,
Kaya,miskin,pintar,beruntung, bodoh,jelek,baik hanyalah label-label dan interpretasi dari kisah-kisah itu tadi"

Saya berdiri dari sajadah , memakai jam tangan dan menyimpan kunci mobil kemudian mulai beranjak keluar dari musala.
Surabaya tetap panas dan masih ada Es Cao yang saya titipkan untuk menemani saya menunggu staff peralatan yang tak kunjung datang