Selasa, 26 Oktober 2021
Gratitude Journal Of Bapak Dua Anak #3
Kamis, 21 Oktober 2021
Di Musholla Bedeng Sebuah Proyek
Gratitude Journal of Bapak Dua Anak #2
Solo, 19 Oktober 2021 20.56 WIB
Malam ini Saya dan Bundanya Fleur - Finix sedang asyik menjelajah linimasa sosial media, kami sedang nikmat-nikmatnya "ghibah" terhadap kehidupan kawan-kawan daring kami dan artis-artis dadakan Instagram.
Ada yang nampak bahagia betul dengan kehidupan berkeluarganya (berdasarkan apa yang kami lihat di sosial media)
Ada yang nampak bijak nian dalam memaknai kehidupan (berdasarkan quotes-quotes yang beliau buat di sosial media)
Ada yang nampak sudah bebas terlepas melewati kerasnya masa perjuangan keluarga muda dengan tidak lagi berkutat dengan masalah popok-SPP-KPR (berdasarkan foto-foto liburannya)
...
Kami secara sadar mengadili dan mengomentari apa yang kami lihat, itulah enaknya ghibah. Tentunya kami melakukan ini bukan tanpa alasan, teman daring kami, mereka sudah meletakkan kehidupan mereka di ruang milik publik bernama Instagram. Sosial media ibarat tak ubahnya jalan raya dimana kanan-kirinya penuh dengan toko-toko berupa akun Instagram, Facebook kita semua. Etalase tokonya berisi foto unggahan, postingan, reels, vlog, story, dsb. Kita sebagai pengguna jalan tentu akan menilai bahkan mencibir apa yang ada di etalase, setidak-tidaknya dalam hati. (meskipun disitu pulalah letak dosanya).
Saya sering berpikir sembari nyinyir "Semua itu kebohongan, tidak mungkin senikmat itu kehidupan. Mereka hanya menampilkan sisi manis kehidupan mereka. Riwehnya ngurus balita, Indiehome yang lupa terbayar, atau pajak mobil yang harus dibayar bulan depan tak mungkin di-ekspose di sosial media. Hahahahah"
Kami sadar apa yang kami lakukan adalah nganggur yang kebangetan hanya untuk mencibir orang lain. Namun suatu kebodohan yang lebih tak ketulungan kalau kita mencoba menampilkan dan menyajikan kehidupan kita hanya demi mendapatkan atensi, approval dan validasi dari orang lain. Sosial media membuat kita membuat proyeksi atau persona diri kita, atau dalam istilah salah satu komedian dari Amerika Serikat, Bill Maher "Our Avatar "
"The rest of us really live two lives. There's the real of us, the person in the kitchen, or a bar who speaks like a human with trusted friends. And there's what I call our avatar. Our avatar looks and sounds like us but it's not really us. It's a persona we adopt in any sort of public sphere which now includes our followers on Twitter and Instagram and our friends on Facebook....we craved any kind of authenticity because of our avatar is full f shits..."- Bill Maher, Real Time With Bill Maher, HBO, 2018
*https://www.youtube.com/watch?v=Kx-E54P_pOY&t=181s
Bahkan kecenderungan saat ini, kita sangat bahagia jika mendapatkan atensi, approval dan validasi dari follower kita di sosial media berupa like, comment, serta tambahan follower. Semakin banyak like-comment-follower kita, semakin terpuaskan diri kita. Karena memang unsur-unsur diatas dibuat oleh taipan media untuk melepaskan sejumlah endorfin di otak kita sehingga menimbulkan efek euforia bahkan kecenderungan adiktif.
(Catatan : Menjadi seseorang yang terkenal di sosial media adalah sebuah cita-cita saat ini. Survey Harris Poll tahun 2019 menyatakan 29% anak usia 8-12 tahun di Amerika Serikat bercita-cita menjadi terkenal secara online. Bahkan menurut YPulse, saat ini 72% Gen Z ingin menjadi online celebrity)
Masalahnya ini juga sering terjadi di diri saya pribadi. Beberapa kali merasa sedih ketika postingan Instagram saya tidak mendapat like yang banyak, atau saya merasa postingannya kurang sedap dipandang. Disaat yang sama, saya merasa iri dengan kawan-kawan saya yang sudah bisa lepas dari jerat tipu sosial media tersebut. Nampak tidak terbelenggu dengan "foto harus estetik". Malam ini lah saya menyadari bahwa kita harus mengurangi kehidupan dunia maya kita dan menjalani kehidupan nyata kita dengan sepenuh-penuhnya, sesungguh-sungguhnya. Tak perlu terpaku pada siapa yang akan melihat, berapa jumlah like yang akan didapat, atau siapa yang akan memberikan komentar.Karena sungguh yang terpenting adalah menjalani kehidupan dunia nyata kita dengan penuh kebahagiaan. Kalaupun kita sempat mengabadikan momen kebahagiaan tsb dan kita bagi di sosial media, semoga ada yang mendoakan kita dengan kata-kata "semoga mereka senantiasa bahagia selayaknya seperti apa yang saya lihat di postingan sosial media mereka"
Jumat, 08 Oktober 2021
Gratitude Journal of Bapak Dua Anak #1
Surabaya, 9 Oktober 2021 08.32 WIB
Saat sarapan, saya yang sembari "mencemil" buku Bapak Ridwan Kamil yang berjudul "#Tetot Aku, Kamu dan Media Sosial", menemukan grafik menarik tentang Kebahagiaan dan Waktu". (Grafiknya bisa dilihat di gambar dibawah)
Menurut grafik ini, salah satu hal yang secara "time and effort" rendah namun memiliki "Happiness Boost" tertinggi adalah "Keep a Gratitude Journal". Wow menarik sekali hal ini!!! Menemukan konsep "Gratitude Journal" bak menepuk 3 lalat sekaligus. Coba bayangkan, saya yang secara pribadi memiliki masalah mengenai rasa syukur ; rasa syukur terhadap kondisi finansial, rasa syukur terhadap karir, rasa syukur terhadap fisik saya dll, yang berimbas pada kebahagiaan saya serta saya sedang mencoba merutinkan kembali kebiasaan saya menulis. Oleh karena itu, perpagi ini saya mencoba memulai hal baru, menuliskan apa yang harus saya syukuri di hari kemarin didalam blog ini.
Untuk HAL YANG SAYA SYUKURI dihari kemarin adalah SAYA SANGAT BERSYUKUR MENEMUKAN APA CITA-CITA SAYA
Wait what???32 tahun, sudah punya anak 2, sudah kerja 10 tahun tapi belum punya cita-cita???
Iya, saya sampai sekarang belum punya cita-cita mau jadi apa dan bagaimana. Waktu kuliah, cita-cita saya jadi dosen yang nyambi proyekan. Waktu kerja di tambang, saya cita-cita jadi GM Strategic Planning. Sekarang kerja di sales, saya dan Bundanya anak-anak punya cita-cita punya konsultan dan kontraktor interior. Semakin saya pikir, semakin saya nggak tahu saya pengen jadi apa.
Akhirnya kemarin pas beli plastik buat usaha tahu tuna kami, saya bilang sama diri saya sendiri " yauda sih kalau kamu nggak punya cita-cita spesifik profesi apa. Yang penting kamu bisa nulis buku, bisa punya lukisan kamu sendiri dan tetap hidup dekat anak-istrimu sampe tua besok, nggak usah buru-buru"
cessss
Disitu saya nemukan apa cita-cita saya esok dihari tua. Hidup sehat, sama Bundanya anak-anak, dekat sama anak-anak saya bahkan saat mereka sudah berkeluarga, sering nulis sampai bisa dicetak jadi buku walau jelek-jelekan, sama ngelukis sendiri buat dipajang di rumah kaya pak SBY.
Alhamdulillah
Segala puji bagi Allah Tuhan segala Alam, Dimensi dan Timeline Semesta karena saya dipertemukan dengan cita-cita saya
Molta
O kawan dengarlah dengar Tentang tanah bernama Molta .. Orang kini menyebutnya Lemuria. Lainnya menyebut Atlantis Sebagian sana memanggilnya...
-
Identitas Buku Judul Buku : Aksi Massa Penulis Buku : Tan Malaka Penerbit Buku : Penerbit Narasi Cetakan Tahun : 2013 Tebal Buku : 148 hal...
-
Amfitrite dan Rodos-ku Berpelukan diantara ombak Samudra Raya . . (Terinspirasi dari Elysium/Now We Are Free - Hans Zimmer/Lisa...